Mijitin Tante Ida
Mijitin Tante Ida
Waktu
di kamar aku lihat Tante Ida pakai daster batik (itu lho yang murahan
di Pasar Senen, 5 ribu ya satunya). “To, ini leher Tante kok kencang
dan badan rasanya pegel linu, mau flu kali ya,” katanya. Kemudian dia
duduk menghadap TV di kamar di ranjang besar (ukurannya king,
kalau tidak salah) dan katanya, “Pakai itu saja To, krim Viva.” Aku
ambil dan duduk di belakangnya, karena dia di tengah aku jadinya duduk
juga ke tengah ranjang dan Tante ada di antara kakiku, majalah aku buka
di samping kanan, aku separuh hati mau pijat karena sedang baca artikel
menarik. Bisa dibayangi ya suasananya, masih ribet, ada anak-anak, ada
ibunya, suara TV kencang. Pokoknya aku sih tidak ada intensi apa-apa.
Tante Ida membuka daster resleting belakangnya, dan aku tuang lotion
ke telapak dan mulai memijat lehernya, sambil baca majalah. Terasa
lehernya memang hangat lebih dari normal. Aku pijat pelan-pelan dan si
tante mendesah keenakan (aku memang pintar mijat kayaknya). Sudah agak
lama si tante bilang, “Tolong ke punggung bawah dong? dan sletingnya
turuni lagi saja biar gampang.” Aku tarik sleting dan dasternya
tersibak jauh ke kanan dan kiri. Aku agak surprised karena
tidak ada tali BH (mestinya waktu mijat leherku sudah tahu ya karena di
atas bahu tidak ada tali, dasar tidak niat jadi tidak konsen).
Aku tuang lagi lotion
dan kusaputkan di punggungnya, “Uhhh dingin,” kata Tante Ida sambil
membungkuk ke depan lebih jauh. Aku pijati bahunya dan dasternya agak
melorot dan dari kaca meja hias di sebelah pojok kanan TV aku melihat
bukit susunya mulai tersembul separuh lebih dan pikiranku tiba-tiba
agak mendesir, mulai deh ngeres. Majalah sudah tidak aku lihat lagi,
penis terasa mulai keras dan aku sengaja memijatnya agak
kugoyang-goyang bahunya dengan harapan dasternya melorot lagi. Eh,
karena agak pas, tidak mau turun lagi. Wah bagaimana nih, aku agak maju
duduknya tapi belum merapatkan barisan ke badan Tante Ida. Aku
lanjutkan memijat ke arah lengan atas dan sengaja kudorong dasternya
lagi dan kali ini berhasil, debar jantungku tambah kencang dan mulutku
mulai kering. Dasternya turun lagi dan pinggir pentil buah dadanya
sudah kelihatan. Tapi waktu kudorong lagi malah tidak mau turun, aku
kecewa dan si tante juga diam saja. Ya sudah aku nikmati seadanya di
kaca itu. Lalu aku pijat terus ke arah punggung dan aku ada ide, aku
ulur tanganku memijat dengan keempat jariku mendekati meraba pangkal
buah dadanya, lama aku memijat dan aku berusaha semakin ke depan
keempat jariku (bisa dibayangi tidak). Ya, lumayan aku dapat juga
tepi-tepi buah dadanya. Si tante diam saja sambil nonton TV, aku juga
tidak berani melanjutkan macam-macam (takut ditampar pula).
Aku
pijat makin turun ke pinggang dan dasternya susah menghalangi, jadi aku
pijat dari luar (padahal kalau sekarang aku pasti berani ngomong,
“Tante ini dasternya dibuka saja ya…” dasar masih tolol waktu itu).
Dari pinggang aku terus ke pantatnya dan ketika itu penisku sudah keras
kencang. Tiba-tiba si tante bergeser, pegal barangkali duduk diam
terus, dan agak mundur, aku tidak sempat menghindar dan pantatnya kena
penisku. Aku pakai celana pendek training dari kain kaos waktu itu. Dia
kaget dan di kaca aku lihat dia agak mesem tapi masih diam. Aku juga
terpana dan merasa salah. Tapi ya aku juga tidak geser menghindari,
jadi aku biarkan saja. Terus si tante ambil selimut besar dan menutupi
kakinya dan pahanya. Kemudian dia menyender agak ke belakang dan
bisiknya, “Pijetin paha Tante dong!” Nah aku mau tidak mau karena dari
belakang jadinya mesti merapatkan badan. Aku ulurkan tangan ke depan ke
paha atasnya, agak bingung dan ketika aku lihat di kaca dia senyum,
sambil merem matanya, buah dadanya masih kelihatan sisi atasnya dan
pungungnya terasa hangat di dadaku dan mukaku dekat lehernya yang
jenjang. Aku tak sengaja bernafas di lehernya dan telinganya dan dia
menggelinjang geli. Ya, aku juga jadi berani dan kuulurkan tangan ke
depan memijat paha atas dari bawah selimut. Eh, si daster rupanya sudah
disingkap ke atas dan aku terpegang paha Tante Ida tanpa daster lagi.
Lututku
sudah lemas dan nafasku sudah tidak teratur mendesah di lehernya yang
jenjang. Aku pijat pelan-pelan dan tiba-tiba aku merasa tangan Tante
Ida menjamah ke belakang dan menyentuh penisku. Aku seperti kena lisrik
dan sempat agak menjerit, eh si tante bilang, “Ssst… diam. Apa sih
ini keras bener?” tanyanya sambil nanar menatap aku di kaca. Dan
tangannya meraba makin ke tengah penis dan tiba-tiba dia membuka
kancing celana (kalian tahu kan celana kain kaos itu, kancing
“cepret”-nya cuma dua dan aku memang tidak pakai celana dalam lagi).
Dan Tante Ida menggenggam batang penisku. “To, raba terus pahaku di
atasnya, aku juga masukkan tanganku, astaga! tidak ada celana
dalamnya.” Dan aku teruskan jari-jariku (sudah jadi berani dan otakku
sudah kacau tidak peduli ada anak-anak di lantai bawah di depan kami
itu, dan suara si oma di dapur masih klontang klonteng orang berberes).
Lebih kaget lagi aku tidak menemukan rambut apa-apa di pangkal paha
atas Tante Ida itu. Padahal waktu aku intip tempo hari seingatku lebat
sekali tuh.
Kuraba-raba terus dan di kaca kelihatan Tante Ida
mukanya seperti orang bingung keenakan (padahal aku belum masukkan ke
lubangnya, masih bego aku, karena ini pengalaman pertamaku, eh aku
waktu itu masih di SMP kelas 3). Tante Ida agak mengangkangkan pahanya
dan aku terus mengusap-usap dan menangkupkan telapakku di bukit gundul
itu, tidak tahu mesti apa (uih guoblook tenan kalau kata Basuki).
Hangatnya bukan main, sementara tangan si tante masih mengurut-urut
lembut batang penisku, aku duduk agak maju lagi. Auhh, enaknya bukan
main deh dipegang sama wanita itu. Badan Tante Ida harum juga karena lotion dan ada semerbak jasmine.
Kulit Tante Ida itu hitam manis. photomemek.com Akhirnya dia menyender total dan
tanganya di penis dan buah zakarku, ujung penisku sudah kuyup sama seminal fluid
yang keluar. Aku sudah kepingin benar menangkupkan tangan di buah
dadanya tapi susah karena pasti bisa kelihatan anak-anaknya. Tiba-tiba
aku ingin kencing dan agak sakit rasanya, aku bingung dan akhirnya aku
bilang tante bahwa aku ingin kencing. “Ohhh.. ya sudah kamu ke kamar
mandi Tante situ!” Aku bangun dan ke kamar mandi dan sambil
menyesel-nyesel takut nanti si tante berubah pikiran. Aku kencing
dan… astaga! itu kepala penis sudah benar-benar basah, kalau tidak
karena kehalang kencing sudah orgasme mungkin tadi itu. Setelah kencing
aku bersihkan si kepala jamur yang sudah merah tua sekali warnanya.
Waktu
aku balik, si tante sudah kemulan sama selimut sambil duduk, aku duduk
lagi di pinggir ranjang dan Tante Ida bilang, “Ayo To, pijetin lagi,
kamu duduk lonjorkan kakimu!” Wah aku jadi semangat lagi, penisku sudah
agak layu setengah ereksi. Kancing “cepret” celana pendekku aku tidak
kancing lagi. Begitu duduk aku rapatkan lagi barisan (he he..he seperti
baris berbaris saja). Aku kaget karena ternyata dasternya tidak ada,
pantas Tante Ida kemulan selimut. Dan dia tidak duduk tapi berlutut
bersimpuh agak nungging ke depan. Dia membisikkan, “To, biar Tante
duduk di atas pangkuanmu.” Aku melonjorkan kaki rapat dan si tante
mengangkang lalu duduk berlutut pantatnya persis di atas penisku, aku
benar-benar setengah masih merasa apa ini mimpi basah saja. “Kamu
pengen pegang susu Tante kan, ayo kamu raba.” Dan di dalam selimut itu
aku bebas, tanganku merajalela. Duh enaknya memerah susu kenyal, dan
putingnya terasa kasar di telapak tanganku, seketika mengeras dan si
tante begitu aku meremas gemetar dan bibirnya terlihat di kaca
digigitnya. Aku meremas-remas seperti tukang roti mengaduk adonan roti.
Tangan Tante Ida juga tidak diam, dia menggenggam penisku dan
digosok-gosokkan di bibir vaginanya. Aku merasa luar biasa hangat itu
bukitnya. Dan tanganku kedua-duanya aktif sekali. Jariku memilin
pulir-pulir dan melintir putingnya, besarnya ada sebesar jari
kelingking (anaknya doyan ASI kali ya). Ukuran buah dadanya berapa ya,
ada 38C barangkali.
Tiba-tiba dia duduk di pangkuanku dan,
“Bless…” masuk kepala jamurku, aku terkejut karena tidak menyangka
akan begitu, aku pikir cuma mau dimasturbasi saja. Benar tidak siap
mental aku kehilangan perjakaku dengan keadaan seperti ini, aku selalu
membayangkan sebelumnya lain. Aku bayangkan dengan teman sebaya. Dan
luar biasa namanya otot vagina itu bisa ya seperti nyedot begitu dan
seperti dijepit dengan apa ya… susah jelaskan. Kami beraksi tanpa
bicara banyak, dan sambil takut si ibunya datang atau anak-anak itu kan
bisa tiba-tiba lari ke ibunya. Dan Tante Ida turun pelan-pelan, aku
merasa agak sakit waktu turun itu, kulit kepalaku ikut tertarik terus
(aku tidak dikhitan). Dan akhirnya Tante Ida sudah duduk rapat di atas
pangkuanku. Dan ia mulai berputar-putar hanya pinggangnya saja, dan
nanar mataku menikmati itu. Jadi penisku di dalam terus, Tante Ida
tidak maju-mundur, ia cuma berputar searah jarum jam atau ke depan
belakang, aku terus meremas-remas adonan daging dadanya. Dasar aku
masih belum bisa, baru kira kira 4 – 5 menit aku sudah merasa gelombang
orgasmeku mulai meluap dan aku tidak bisa ngomong cuma remasan di buah
dada Tante Ida. Tanpa sadar aku jadi meremas kencang sekali. Tante Ida
tahu dan dipercepatnya dan perahan ototnya tambah kencang, ia juga
rupanya (aku tahu belakangan) mau mencapai orgasmenya.
Ia duduk
di penisku masuk dalam sekali dan terasa bibir vaginanya di buah
zakarku, ia memutar hebat dan aku orgasme terhebat dalam sejarah
hidupku sampai waktu itu. Supaya tidak menjerit aku tekan mulutku di
punggung Tante Ida. Dia juga rupanya sampai dan terengah-engah.
Tiba-tiba si Ita anaknya yang besar melihat ke kami dan katanya, “Mama
kenapa?” Kami seketika membeku diam dan untung si Ika nonton terus
karena pas film kartunnya lagi asyik. Pelan-pelan Tante Ida mencabut
sambil mengencangkan cengkraman ototnya, rupanya supaya spermaku jangan
tumpah kemana-mana. Dan dia bangun sambil membawa selimutnya terus ke
kamar mandi. Aku cepat bersila dan kututup dengan majalah. Wah baru aku
nutupi dan Tante Ida masuk kamar mandi, Bu Etty si oma masuk kamar dan
bilang,
“Eh, anak-anak ayo tidur sudah hampir jam 10.00 malam nih. Eh ada nak Toto juga, mana Ida?”
“Oh… itu…” gelagapku, “Lagi ke kamar mandi.”
Untung si oma tidak curiga dia kira aku ikut nonton barangkali ya.
“Ayo Oma mau bobo!”
Pas film kartunnya habis dan mereka bilang,
“Selamat malam Kak…”
Begitu
mereka pergi aku ikutan masuk kamar mandi, dan si tante masih jongkok
sedang mencuci vaginanya. Aku dekap dari belakang dan si tante berdiri
dan kegelian karena penisku mentul-mentul menyentuh bukit pantatnya.
Aku belum lihat benar bagaimana badan si tante dan aku agak mundur.
Seketika
penisku tegang lagi karena yang kulihat sekarang nyata bukan dari
tempat mengintip. Dan tangan si tante memegang lagi batang penisku
sambil menyiramnya untuk mencuci yang tadi. Aku gemetar karena
pengalaman seperti ini luar biasa untuk anak seumurku. Buah dada Tante
Ida menantang dan tegar, kelihatan pori-porinya meremang karena udara
agak dingin di kamar mandi. Dan itu bukit vaginanya gundul sekali dan
agak merekah merah terbuka bekas tadi. Aku tak tahu mesti apa selain
meraba buah dadanya lagi kali ini dari depan. Tante Ida menarik aku dan
mencium bibirku, aku menurut saja dan badan kami merapat. Tangannya
terus mengurut-urut batang penisku. Dan aku meraba pantatnya yang
sintal kencang. Buah zakarku pun diremas-remasnya pelan-pelan. Kemudian
Tante Ida menaikkan kakinya sebelah ke atas bak dan dimasukkannya lagi
penisku. Lincir sekali dan panas terasa di batangku. Kali ini Tante Ida
bergoyang maju-mundur dan pantatku juga ditekannya mengikuti irama. Aku
ikut saja menggoyangkan sambil memeluk, mengisap putingnya, mencium
bibirnya.
Beberapa saat kami bergoyang sama-sama, tapi pahanya
Tante Ida pegal rupanya dan dicopotnya penisku, kemudian ia berbalik
dan nungging pegangan ke bak mandi. “To dari belakang To,” dan
tangannya diulurnya dari tengah selangkangannya, ditariknya penisku dan
pelan-pelan digosoknya ke bibir vaginanya. Aduh panas banget deh itu
bibir, terus aku desak maju dan “Bless…” kepala jamurku masuk
bergesek-gesek lincir dengan dinding lubangnya. Tante Ida juga bereaksi
dan pinggulnya berputar seperti penari perut itu. Aduh luar biasa deh,
aku nanar dan tidak bisa mikir lagi. Pantatku maju-mundur penisku
menggaruk-garuk lubang. Dari posisi ini aku bisa lihat jelas batang
penisku basah kuyup dan bibir vagina Tante Ida ketarik keluar-masuk.
Tanganku mengulur ke depan meremas buah dadanya yang menggantung besar
dan bergoyang menggeletar, nafas Tante Ida mendengus desah. Akhirnya
aku meledak-ledak lagi dan Tante Ida terbantar dia rupanya sudah duluan
orgasme. Setelah itu kami mandi di pancuran sama-sama dan saling
meraba-raba berpelukan dan aku puas sekali memerah susunya. Buah
dadanya juga buat aku bagus sekali, aku puas sekali meremas-remas itu.
Luar biasa wanita ini.
Kemudian kami lanjutkan lagi di ranjang.
Dan aku cuma bisa rebah di bawah dan Tante Ida yang naik di atas.
Pantatku diganjal dengan bantal dan terasa penisku lebih terulur, si
tante meremas penisku yang lemas dan pelan-pelan diciumnya kepala penis
dan akhirnya dimasukkan ke mulut dan aku melenguh-lenguh geli dan agak
linu karena sudah dua kali main. Tak lama penisku tegang lagi dan tante
naik menunggangiku sekali lagi menghadapi aku. Buah dadanya bergayut
bebas dan liar, aku meremas-remas sambil menikmati kenyotan vaginanya
yang kencang sekali. Tante Ida ini benar-benar kuda betina binal
sekali. Diputarnya pinggulnya dan terasa sekali dinding otot daging
vaginanya meremas-remas batang penisku. Pelan-pelan orgasmeku mulai
bergelombang akan keluar tiba-tiba, dicabutnya vaginannya, aku
menjerit, “Aduhh Tante terusinn dongg…” Dia tertawa dan diputarnya
badannya dan dipegangnya penisku yang sudah panas sekali. Sekarang
tante membelakangiku, dibimbingnya penisku masuk, ia turun dan
“Bless…” aku bisa melihat bibir vaginanya merekah dibelah penisku.
Dan ia mulai lagi bergoyang seperti penari jaipong, luar biasa tak
tergambarkan, enak.
Tak lama aku meledak, dan si tante
mengandaskan penisku semua masuk dan ia masih membuat gerakan memutar
dengan pinggulnya dan kakinya lurus, ditekannya habis dan tante pun
meledak-ledak melenguh keras, “To… enak sekali To…” Benar-benar
wanita luar biasa. Dia bilang dia suka sekali hubungan kelamin. Tapi
suaminya sering tugas ke luar kota dan seperti sekarang ini setahun
penuh belajar di **** (edited). Malam itu jam 24.00 lebih baru aku
dilepas sama Tante Ida. Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama
suaminya sekolah itu. Dan ketika aku kemudian sama Ita anaknya, Adeline
keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy sama-sama waktu Tante Ida ke luar kota sama suaminya.
Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku besar kemudian Ita anaknya juga pernah ngelmu sama aku (gantian setelah aku ngelmu sama seniornya). putri77.com Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy.
Ada lagi Mbak Icih pembantu di rumahnya yang molek juga.
Pengalaman-pengalaman di situ sangat berkesan dan mendidik aku tentang
hal sex.
Besoknya tengah hari, aku ke rumahnya lagi karena
pagi-pagi tadi aku terbangun sudah tegang sekali terbawa ke impian
segala pengalaman pertama itu. Aku mengharapkan bisa main lagi karena
biasanya anak-anaknya suka dibawa jalan-jalan sama ibunya Tante Ida
kalau hari Minggu. Rupanya sudah pada pergi karena sepi sekali, wah
asyik aku pikir dan nafasku terasa sudah terengah-engah membayangkan
apa yang akan aku alami. Kok sepi sekali, tidak kedengaran suara, ah
mungkin si tante tidur, aku pikir. Aku pelan-pelan ke kamarnya, tidak
ada. Kemana ya? Di kamar mandi aku lihat juga tidak ada. Aku ke
paviliun kamar Bu Etty ibunya Tante Ida mungkin lagi beres-beres di
situ, pikirku. Tanpa mengetuk aku masuk dan dari balik pintu aku lihat
ada bayangannya sedang membungkuk membelakangi di dekat ranjang, segera
aku masuk dan kupeluk dari belakang sambil meremas-remas buah dadanya.
“Aiihh…” jeritnya. Astaga! rupanya Bu Etty, bukan Tante Ida sedang
setengah telanjang baru mandi.
Aku ternganga dan tidak bisa
bicara dan Bu Etty lemas karena kaget terduduk di ranjangnya. “Duhh nak
Toto kenapa ngagetin Ibu…” dan dia terduduk di ranjangnya, handuk
yang sekedar menutup tubuhnya tidak cukup panjang sehingga bagian atas
handuk turun ke perutnya buah dadanya menggandul lepas bebas. Aku
tambah menganga melihat itu dan penisku di dalam celana pendekku tidak
tahu diri, dia masih tegak saja seperti tiang bendera tujuh belasan.
Kami terdiam dan Bu Etty tak berusaha menutup buah dadanya yang masih
sintal. Memang ibu dan anak ini dikaruniai tubuh yang amat seksi. Bu
Etty umurnya kurasa sudah berumur tapi badannya amat terpelihara, ya
seperti itu loh ibu-ibu yang rajin minum jamu-jamuan. Buah dadanya sama
seperti Tante Ida biar agak sedikit turun, dan dia lebih tinggi dari
Tante Ida, jadi anggun sekali.
“Mau ngapain nyari Tante Ida?” tanyanya tanpa sungkan.
Aku tergagap-gagap.
“Eh… oh itu mmm nyari majalah…”
“Lho kok meluk-meluk dan meremes-remes tetek orang,” sergahnya.
Aku
tambah pucat dan tidak sadar atau terpikir bahwa Bu Etty kok tidak
berusaha menutupi payudaranya itu yang kontal-kantil di depanku.
“Itu anu.. anu.. aku… sa… sa.. saya tidak sengaja…” gagapku.
“Mana bisa tidak sengaja orang kamu sudah ngeremes-remes, sakit tahu…” bentaknya lagi, “Sini kamu!” sergahnya.
“Tanganmu lancang sekali ya, coba sini mana tanganmu! aku mesti laporin sama ayah kamu.”
Aku
sudah tambah hijau biru pucat pasi dan keringat dinginku deras mengalir
di punggungku. Penisku yang tadi sudah tegang jadi mengkerut kecil
sekecil-kecilnya lembek di dalam celanaku seperti kura-kura kena gertak
kepalanya, masuk deh ke dalam batoknya. Malah ingin ngompol rasanya.
Kuulurkan tangan yang gemetar dingin dan dipegang oleh Bu Etty.
“Ya sudah,” katanya.
“Ini ayo remas-remas lagi, kan kamu pengen,” sambil menaruh kedua telapak tanganku di atas buah dadanya.
Aku
tambah takut dan bingung, tidak percaya, dan kutarik tanganku kembali
begitu menyentuh buah dadanya seperti kena panci panas. Bu Etty malah
jadi tertawa kecil. “Nak To, jangan cemas tidak ngegigit kok buah
dadaku,” derainya sambil tersenyum sekarang. “Aku kemarin malem lihat
kok kamu jam berapa pulang dari sini, dan ya aku ngerti kok si Ida itu
sama saja memang nafsunya besar sekali. Seperti aku juga,” ujarnya.
“Ibu juga seminggu mesti sedikitnya 4 kali main,” katanya tanpa
malu-malu. Aku hanya bisa mengangguk-angguk tidak tahu mesti menjawab
apa. Tahu dong kalian kalau habis begitu kan perut masih mual enek,
terkaget-kaget, duh untung aku tidak ngompol di depan dia deh. Mana dia
ngomongnya blak-blakan begitu seperti bukan orang Indonesia saja. Aku
merasa pening sakit kepala.
“Duh nak Toto kaget ya,” sambil
berdiri ia menarik aku dan dipeluknya kepalaku ke buah dadanya. Baru
aku agak tenang, dan tiba-tiba terasa tangan Bu Etty turun ke
pinggangku dan “Sret…” sekali tarik celana kaosku sudah ditariknya
separuh turun. “Hi.. hi.. hi… lihat nak, mengkerut kecil tuh si
buyung. Kasian deh kamu, sini Ibu hiburin dia,” sambil ditariknya
kepala penisku yang tidur, ia membungkuk dan seketika handuknya
terlepas total jatuh di kakinya dan bebaslah tubuhnya yang jangkung itu
dari segala hambatan. Beda dengan Tante Ida, Bu Etty kulitnya kuning,
turunan Sunda sih. Tante Ida mungkin dapat kulitnya hitam begitu dari
bapaknya yang turunan Ambon barangkali.
Ia berjongkok di
depanku, ditaruhnya penisku di tapak tangannya dan disaputkan ciumannya
di penisku sepanjang batangnya, disaputkan dengan halus batangnya,
disaputkan dengan halus, ketika si “Joni” dikasih angin begitu langsung
mulai memanjang deh. Tangannya meremas-remas lembut sekali di buah
zakarku dan aku juga masih shock karena belum pernah tahu ada
soal cium mencium alat vital. Dengan jelas kemarin sama Tante Ida cuma
dia kenyot sebentar saja, duh bodoh benar deh kalau ingat itu.
Didorongnya
aku ke tempat tidurnya dan mulutnya sekarang mulai merekah dan lidahnya
terasa kasap keluar menjilat-jilat batang penisku. Tak terkira
nikmatnya dan aku cuma bisa mengeluh lenguh, “Aahh… ahh…”
Kubaringkan badan di tempat tidur Bu Etty dan si ibu pelan-pelan sambil
terus menghisap kepala penisku. Bu Etty kemudian berputar dan akhirnya
vaginanya di atas mulutku. Terbelalak aku melihat rimba lebat dan mulai
merekah lubangnya yang merah seperti kerang mentah itu. Aku cuma
mencium bau nafsu yang keluar dari situ dan kelihatan mulai basah
lubangnya. Tiba-tiba Bu Etty menurunkan pinggangnya dan seketika
vaginanya hanya tinggal 1 cm dari mulutku. Aku angkat kepalaku dan
mencium sedikit bibir vaginanya. “Ahh…” lenguh Bu Etty. “Terus terus
To..” wah langsung kusergap dan kukenyot kencang-kencang dan lidahku
beputar-putar menjilat-jilat lubang dan tepian bibir vaginanya. Tidak
mengerti sih mesti diapain.
Dan Bu Etty melepas penisku dan ia
duduk di atas bibirku sambil menggosokkan berputar di atas mulutku, wah
aku hampir tidak bisa bernafas. Paha atasnya terasa mengepit kepalaku
dan terasa cairan dari lubangnya tambah banyak. “Ayo To, lidahnya
jilatkan ke atas ke bawah sepanjang bibir vagina Ibu,” jelasnya. Wah
tambah deh ilmuku. Kelak ilmuku ini ternyata digemari sekali oleh
wanita-wanita yang pernah kutiduri, ya ini dapatnya waktu sama Bu Etty
ini. Eh, ngomong-ngomong hati-hati ya kalau oral karena salah satu
sumber penyebaran AIDS juga dari cara ini (hayo mau kamu kondomin
gimana tuh).
Tiba-tiba kurasa tekanan pinggangnya tambah kencang
kandas memepetkan vaginanya ke bibirku dan ia menjerit-jerit kecil,
“Ahh… ahhh… enakkk… hebat kamu To.. Ibu enakkk sekalii…”
rupanya ia orgasme dengan hebat sekali. “Hah.. hah… hahhh… uhhh…”
ia terengah-engah dan bibir vaginanya menempel dan ia terbadai
terduduk. Vaginanya masih menempel di mulutku dengan rapatnya. Kutelan
cairan-cairan yang mengalir menetes dari dalam liangya. Dan kudorong
sedikit pantatnya itu sambil lidahku menjilat di sekitar sisi luar
bibir vaginanya terus ke arah pantatnya, aku jilat-jilat pelan. Terasa
kasarnya lidahku membuat ia bergelinjang geli. “Ahhh… ahh… Toto
kamu kok… pin… ter… sekaliii…” Dan penisku sudah tegang keras
bukan main yang tadi tersia-sia, disergapnya lagi dan dimasukkannya
lagi ke dalam mulutnya dan disedotnya dengan kuat. Lidahnya
melilit-lilit di sekitar kepala penis mengikuti lekak lekuk dan
nikmatnya tak terbayangkan, sulit kuceritakan di sini. Aku mengejangkan
kakiku dan pantatku sampai terangkat-angkat dari kasur sehingga penisku
tambah panjang terisap-isap Bu Etty. Bu Etty mengambil bantal dan
disedakkannya di bawah pantatku sehingga terasa sekali penisku seperti
terdorong ke atas tambah panjang.
Bu Etty terus mengenyot dan
kepalanya ikut maju-mundur sambil kedua tangannya meraba-raba zakarku.
Sekali-kali dirabanya sekitar antara pantatku dan zakar. Kukunya yang
panjang menggaruk-garuk halus dan gelinya bukan main, menambah nafsuku.
Sampai merinding semua kulitku. Aku terengah-engah sudah tak sadar
bagaimana tingkah kelakuanku. Bu Etty masih tetap nungging di atas
kepalaku dan pemandangan vaginanya menambah nikmat. Kutarik lagi
pantatnya dan kulumat-lumat dengan mulutku lagi. “Auhh aihh…”
terdengar suara Bu Etty terhalang penisku dan seketika kulitnya
meremang merinding karena geli dan nafsu.
Aku tiba-tiba merasa
spermaku mulai bergelombang mau keluar, kulepas ciuman di vagina Bu
Etty dan aku berderau parau, “Ahhh… Buuu… terus… terus…” Tapi
tiba-tiba Bu Etty melepaskan mulutnya dan dicekiknya batang penisku
sampai sakit sekali dengan kukunya, “Aauuu.. aduhhh aduhhh…” jeritku
kesakitan. Aku terkejut sekali dan kecewa karena gelombang nikmatnya
jadi hilang lenyap, terasa aku frustasi dan mau meledak marah rasanya.
Bu Etty sambil bangkit duduk di sisiku sambil tertawa dan katanya,
“Sudah ya nak Toto… pakai bajunya gih…” Mulutku selebar Goa Gajah
ternganga bingung. Sadis amat ini orang, kok begini Bu Etty, pikirku.
Maksudnya apa?
Mataku merah dan rasanya berkunang-kunang, pusing
rasanya kepalaku dan aku tidak tahu mesti ngapain. Nafsuku masih
menggebu-gebu, nafasku terasa menderu. Akhirnya aku gelap mata dan
kutubruk Bu Etty sampai terjatuh di atas ranjang dan kubuka pahanya
dengan paksa. Terasa ia mencoba menutup pahanya melawan dan kucegah
dengan kedua pahaku. Tangannya kutekan ke kiri dan kanan di atas
keranjang dan ia meronta-ronta. Kutabrakkan penisku ke lubangnya, waduh
susahnya, karena ia menggelinjang-gelinjang. Mulutku mengecup dan
mengisap putingnya. Aduh gimana nih aku sudah nafsu sekali tapi penisku
tidak masuk-masuk. Tiba-tiba kucoba gigit sedikit putingnya dan
“Kres…” kucengkeramkan gigiku. “Auuu…” jeritnya dan pinggangnya
terdiam, langsung aku manfaatkan dan kepala penisku kudesakkan masuk ke
lubangnya yang basah. Dan aku genjot kandas batang penisku
sedalam-dalamnya biar Bu Etty tidak berontak-berontak lagi, takut lepas.
Ia
masih mencoba meronta-ronta dan nikmatnya hentakan ronta-rontaan itu ke
vaginanya di batangku. Kupaku dengan penisku dan aku tindih dengan
badan juga, buah dadanya yang sintal lepas tertekan dadaku dan tanganku
masih mencengkeram kedua tangan Bu Etty. Setelah dia agak diam, aku
goyang hanya berputar-putar tanpa mencabut batangku lagi
kencang-kencang, habis takut dia berontak lagi. Terasa buah zakarku
gondal gandul bergesek-gesek menghantam menekan sisi bibir vaginanya
yang tebal dan bulunya menggesek-gesek buah zakarku, geli sekali dan
meledak-ledak spermaku dalam 2 menit di situ. Aku lupa diri, luar biasa
nikmatnya karena tadi tidak jadi keluar waktu di “karaoke” sama Bu Etty
dan badan kami kejang-kejang. Tiba-tiba Bu Etty membalik dan ia sudah
di atas dan ia menggoyang-goyang pinggulnya dengan putaran kuat. Mataku
terbeliak-beliak nikmat. Buah dadanya bergoyang-goyang liar dan
kutangkap dengan kedua tanganku dan kuperah. Bu Etty juga
mendesah-desah keras, akhirnya orgasme lagi, akhirnya terhempas ia ke
atas tubuhku yang penuh keringat.
“Nak Toto enak ya,” katanya sambil tersenyum.
“Tadi kusengaja itu karena dengan gitu nikmatnya lebih tinggi lagi.”
“Duh Ibu pintar sekali sih, belajar dimana sih?
“Lho kan Ibu turunan orang Sunda juga nak Toto, kalau itu memang bakat alam soal ginian, makanya pada pinter kalau jaipong.”
“Oh itu tadi gerak jaipong ya Bu…”
“Iya dong…” katanya sambil mencubit pelan di buah zakarku yang sudah mengkerut keriput.
Penisku masih setengah berdiri dan kepalanya merah tua basah (with
an apology to our Sundanese reader or is it a compliment? No offence
meant ladies buddy, that was my best experience ever… viva Sundanese).
Kami lalu mandi bebersih bersama-sama saling menyabuni. Kemudian ya
jadinya main juga sekali di kamar mandi sambil berdiri. Aku
bereksperimen diajarkan sama si ibu, memasukkan penisku dari belakang.
Bu Etty membungkuk dan goyang jaipongnya hanya di kepala penisku tanpa
memasukkan seluruh batang. Beda kemarin sama Tante Ida, kami pakai gaya
klasik maju-mundur penisku biar sambil Tante Ida nungging juga.
Kemudian
aku diajarkan menjilati klitorisnya tanpa menyentuh bibir vaginanya,
kakinya yang satu ditumpangkannya di tepi bak mandi sehingga terkuak
bebas vaginanya di depan mukaku. Kulilitkan ujung lidahku di kepala
klitorisnya dan ia menggelinjang, buah dadanya terpontal pantil menahan
geli. Tanganku segera meraba ke atas dan berusaha kuperas-peras kedua
buah dada itu. Tapi karena aku di bawah hanya dapat sedikit. Akhirnya
Bu Etty agak membungkuk dan buah dadanya bergantung bebas. Gemas sekali
aku dan kami bermain-main di dalam kamar mandi sampai hampir 1 jam.
Rupanya hari itu Tante Ida sekalian mau
belanja, jadi ia pergi sama anak-anaknya, makanya Bu Etty yang di
rumah. Sambil istirahat kami membuat minuman hangat dari termos di
kamarnya dan duduk di ranjang di kamar Bu Etty. Kami tetap telanjang
bulat.
“Bu, jadi tahu ya tadi malam aku main sama Tante Ida.”
“Iya dong nak, kan Ibu sudah pengalaman dan lumrah kok seperti Ibu bilang tadi kami memang wanita yang nafsunya kuat sekali.”
“Lalu,
kata ibu tadi seminggu sedikitnya 4 kali, sama siapa biasanya Bu?”
tanyaku sambil membaringkan badan memegang memilin-milin puting susunya.
“Oh..
Ibu sama teman-teman bertiga, ada semacam klub kecil,” katanya sambil
tertawa renyah sambil ekspresi mukanya menahan geli dari pilinan jariku.
“Biasa kami nyari anak SMA, mahasiswa atau anak-anak muda dan kami bawa ke villa teman Ibu atau ke hotel juga.”
“Ibu makanya awet muda ya, itu kami selalu nyari perjaka-perjaka untuk diperawanin,” cekikiknya manja.
Tangannya juga iseng meraba-raba pantatku dan dari bawah pahaku ke belakang dijamahnya lagi buah zakarku.
“Ibu
paling demen sama anak seumur kamu deh, nafsunya besar dan cepet sekali
pulihnya, bentar-bentar sudah ngaceng lagi…” ujarnya.
Sambil terus
meremas-remas buah zakarku dan batang penisku yang sudah mulai berdiri
lagi. Didorongnya badanku sehingga aku rebah dan Bu Etty naik ke atas
mengangkangkan pahanya dan ia berjongkok di atas penisku yang separuh
tegang. “Diam ya nak To…” Pelan-pelan dipegangnya daging sosisku dan
disaputkannya kepala penisku di tepi-tepi bibir vaginanya yang ada
rambutnya. Aduh, nikmat sekali dan pelan diarahkannya ke lubang nikmat
itu dan “Bless…” mulai masuk lagi, nikmat luar biasa walau penisku
terasa agak perih digeber dua hari ini. Belum tegang penuh tapi vagina
Bu Etty seperti bisa menarik masuk dan tekanan pinggulnya sedemikian
rupa.
“Aku suka sekali di atas,” kata Bu Etty, “Karena bisa
ngontrol gerakan dan garukan batang penis ke klitorisku,” katanya.
“Sekarang diam, nak Toto rasakan merem deh.. merem…” Aku merem dan
senut-senut terasa sekali dinding lubangnya berdenyut-denyut kencang.
Bu Etty tidak ngapa-ngapain, hanya merem juga waktu kuintip. Aku merem
lagi dan kuulurkan tanganku ke buah dadanya yang montok sekali itu.
Duh.. seperti memegang melon. “Remes To… remes!” keluhnya manja
sekali dan penuh nafsu. Suaranya berdesah-desah, “Ahhh… ahhh…
enakkk… putingnya To.. putingnya ibu atuh…. uhh…” Pinggulnya
mulai berputar pelan-pelan sekali gaya penari jaipong dan kadang sambil
jongkok ia menaik-turunkan pinggulnya. Hebatnya sedotan dari dalam
vaginanya itu lho. Aku rasa kalau vacuum cleaner-nya rusak bisa tuh dipakai menyedot debu.
Buat
aku ya enaknya buah dadanya tersaji di depan mataku dan tinggal ulurkan
tangan saja. Aku meremas-remas buah melon yang kenyal itu.
“Bu, aku diajak ke tempat teman-teman Ibu dong…” ujarku tiba-tiba.
“Ha ha… ha… entar kamu apa kuat ngelayani kami-kami To?”
“Coba deh Bu…” bisikku sambil terus meremas buah dadanya.
“Gini
deh, lain kali aku ajak kamu tapi aku tidak bilangin mereka kamu sudah
pernah main ya… biar lebih seru…. Kemarin sama nak Ida gimana enak?”
“Enak
juga Bu, tapi kayaknya Ibu Etty lebih jago ya…” pujiku sambil mataku
terbelalak-belalak karena genjotan pinggul Bu Etty tambah seru saja.
Keringatnya
menetes-netes ke dadaku dan bau harum badannya tambah kuat karena hawa
panas badannya. Harum sekali si ibu ini, pikirku sambil menikmati
hentakan pinggulnya yang tambah cepat. Dan tiba-tiba Bu Etty kandas dan
vaginanya merapat lagi dengan buah zakarku. Sekarang ia berputar-putar
tanpa naik-turun. Terasa ujung penisku di dalam itu seperti diperas
dengan kuat sekali dan… “Srot… srot…” aku meledak ledak tak
terkendali lagi. Letih betul rasanya dan kami tertidur setelah itu.
Sorenya
menjelang magrib aku terbangun dan Bu Etty masih telanjang bulat. Aku
pelan-pelan bangun mau beranjak pulang mencari celanaku, tiba-tiba aku
melihat ada orang di pintu mengintip dan ia tidak melihat aku di dekat
kamar mandi. Rupanya Adelin keponakan Tante Ida yang kuliah di kota ini
berkunjung. Aku kaget dan tidak tahu mesti apa. Wah kalau ketahuan
tidak enak. Adelin cantik sekali anaknya dan seperti tantenya Ida dan
Bu Etty, tubuhnya juga seksi sekali. Ah, untung dia melihat Bu Etty
tidur dan dia pergi lagi. Sekarang bagaimana aku keluar nih. Pintu
paviliun Bu Etty tidak pernah dibuka dan ada lemari di depannya. Ya
sudah aku pakai baju kaos dan celanaku dulu deh. Pelan-pelan aku buka
pintu kamar dan kuintip, wah si Adeline lagi sama Mbak Icih di dapur,
aku mengendap-endap ke kamar tamu dan pura-pura duduk baca majalah.
“Lho ada kamu To,” ujar Adeline waktu masuk lagi dari dapur.
“Kamu ngapain? Aku nggak lihat kamu masuknya.”
“Aku mau baca majalah nih…” sahutku sekenanya.
“Ok, aku mau pergi dulu ya,” katanya sambil keluar.
“Tante Ida belum pulang ya?”
Adelin
berputar dan ala mak pinggulnya seksi banget deh dan aku karena sudah
ngeres melulu 2 hari ini langsung merasa desiran di penisku. Adeline
pergi dan aku sendirian di ruang tamu menjelang petang dan aku jadi
naik ke otak lagi.
Aku bangkit dan ngintip ke kamar Bu Etty. Wah
masih tidur nyenyak habis di servis enak sih. Tiba-tiba ia bergulir
miring membelakangi pintu dan aku, selimutnya tersingkap, wah pantatnya
terlihat dan dari belakang bulu-bulu serta kemaluannya jadi kelihatan
sudah deh si “Ujang” langsung bangun dan aku jadi bingung. Mestinya
Tante Ida sebentar lagi pulang dan kalau aku main lagi takut ketahuan
deh. Bu Etty bergeser lagi dan telungkup, kakinya terbuka dan aku bisa
lihat jelas vaginanya. Lututku lemas dan nafasku menderu. Aku tidak
kuat lagi, biarin ketahuan-ketahuan deh. Aku masuk dan kukunci pintu
perlahan. Kubuka celana pendekku dan aku dekati pelan-pelan dari
belakang. Kuendus-endus dulu sekitar vaginanya, wah ternyata masih
basah, dan karena Bu Etty mengangkang sambil terlungkup aku bisa lihat
jelas dalam cahaya senja yang masuk pas di garis pantatnya yang sintal
dan besar itu. Aku berlutut dan pelan-pelan kudekatkan penisku. Pelan
kuletakkan di mulut bibir vaginanya dan aku diam. Hmm, tidak bereaksi,
kudorong pelan sekali mendesak bibir tebal itu. Masuk sedikit lagi, duh
enaknya karena terasa hangat. Aku diam lagi menikmati dan kugerakkan
sedikit halus sekali. Tiba-tiba Bu Etty bergerak lagi menggeser
pantatnya dan “Bles…” malah masuk lagi, sekarang kepala penisku… eh
masih tidak bangun juga. Dengan halus sekali aku dorong lagi sedikit
sekali, terasa berdenyut-denyut dinding vaginanya dan seperti
“nggremet-grement”.
Duhhh… enak banget. Aku maju lagi.
Tanganku bertelekan di ranjang tanpa kena tubuh Bu Etty, sudah rada
pegel sih, tapi nafsuku sudah menderu-deru dan aku sudah tidak peduli
apa-apa lagi habis enak sekali. Maju lagi sudah 3/4 batang masuk dan
terasa ada aliran cairan ikut dari dalam. Tiba-tiba pintu terbuka dan
Mbak Icih masuk dengan setumpuk pakaian baru disetrika. Dia tidak tahu
rupanya karena kamarnya gelap bahwa ada orang di dalam. Aku panik dan
sudah tidak bisa narik diri lagi. Mbak Icih menyalakan lampu dan dia
terpana melihat kami. Dia lihat Bu Etty tidur, ya aku hanya bisa pucat
dan diam karena kalau dicabut pasti bangun Bu Etty. Akhirnya aku hanya
bisa meletakkan jariku di bibir bilang supaya Mbak Icih diam. Penisku
langsung lemas dan Mbak Icih langsung keluar, untung dia tidak
menjerit. Aku jadi hilang nafsu dan kutarik pelan-pelan batang yang
sudah lembek itu dan aku cepetan pakai celana lagi.
Keluar dari
kamar kulihat Mbak Icih terdiam di dekat dapur. Aku mau mendekat ke
sana, tiba-tiba pintu depan terbuka dan Tante Ida pulang. Dalam hati
aku bersyukur juga, kan tidak enak kalau pas lagi “ngegenjot” tadi.
Rupanya waktu kukunci tidak benar masuknya karena pintunya belum tutup
betul. Dasar kalau sudah nafsu begitu sudah tidak jalan otak dan rasa.
Aku panik dan Tante Ida melihat aku, hampir saja tidak terdengar.
“To cari majalah lagi?” tanyanya.
“Apa, apa… Tante? Oh ya…”
“Kamu kenapa To, mana Ibu?” katanya sambil masuk ke dalam dan pantatnya disenggolkannya ke pantatku.
“Oh itu Ibu Etty tidur sore…” ujarku.
Aku
masih bingung bagaimana dengan Mbak Icih. Tante Ida langsung ke dapur
dan kudengar ia meminta Mbak Icih memanaskan makanan-makanan yang
dibawanya. Hmmm aman sedikit, kupikir dia sibuk.
“To, mau makan di sini?” tanya Tante Ida.
“Tidak
deh… aku disuruh jaga rumah kok Tante (he he…he jaga rumah malah
setengah hari di rumah tetangga). Ayah dan ibu semua pada pergi ke
Bogor pulangnya besok pagi-pagi.”
“Wah kamu sendiri ya,” kata Tante Ida sambil mengedipkan mata.
“I… iya.. ya… (wah tadi aku kunci rumah tidak ya)” jawabku sekenanya.
“Ya sudah, kamu mau pulang?”
“Iya iya…”
Aku masih bingung, sudah tidak tahu mesti apa tentang Mbak Icih.
“Nanti Tante ke sana deh lihat kamu,” katanya lagi sambil tersenyum berarti.
Aku lantaran bingung hanya bilang iya tanpa ekspresi.
“Kamu baik-baik saja To?” tanyanya lagi.
“Iya Tante… pulang dulu ya… itu majalah saya sudah rapikan lagi.”
Dan aku pulang sambil berdebar-debar apa yang akan terjadi nanti.
Pulang
aku mandi, berusaha menenangkan diri. Dalam hati aku menyesel kenapa
mengikuti nafsu saja, jadi kacau semua akhirnya, pikirku. Tapi ya sudah
kupikir semua sudah terjadi, bagaimana nanti deh. Aku belum makan tapi
sudah tidak kepinginan. Selesai mandi aku bereskan buku untuk besok,
berusaha mengalihkan pikiran.
“Tok tok tok…” ada yang mengetuk pintu
samping. Kemudian aku ke situ, Tante Ida pikirku. Waktu itu aku tidak
jadi senang mikir sebenarnya karena aku sendirian bisa main lagi sama
Tante Ida di rumahku. Kubuka pintu, ternyata Mbak Icih membawa nampan
dan katanya, “Mas To, ini dari Tante Ida, beliau ada tamu luar kota
mesti ditemenin ke stasiun jemput saudara, katanya gitu dan ini disuruh
makan dan Mbak disuruh nemenin Mas To sampai selesai makan. Bu Etty dan
anak-anak juga ikut semua.” Aku bengong dan kupandang Mbak Icih
biasa-biasa saja. Aku ambil nampan dan kukatakan,
“Tidak usah ditemenin deh Mbak, aku bisa.”
“Ah jangan Mas To entar saya dimarahin, lagian di rumah tidak ada orang, saya rada takut sendirian.”
“Lho sudah dikunci belum rumahnya,” tanyaku.
“Sudah Mas.”
“Iya sudah masuk deh Mbak!”
Aku
makan dan Mbak Icih duduk di dingklik nonton TV, biasa sinetron
“blo’on” Indonesia. Tiba-tiba Mbak Icih cekikan pelan, aku lihat di TV
pas ada iklan, Srimulat rupanya. Aku masih mikir soal ketangkap tadi.
Akhirnya aku ngomong to the point.
“Mbak Icih jangan cerita siapa-siapa ya soal tadi di kamar Bu Etty.”
“Oh itu tidak apa-apa kok Mas To, di rumah situ mah bebas saja. Hanya saya ya kaget saja karena tadi saya kira tidak ada orang.”
“Maksud Mbak gimana, bingung aku.”
“Oh gini loh Mas To. Kalau laki perempuan kan lumrah suka gituan.”
Aku jadi tambah bengong saja, ini orang ngomong apa sih.
“Mbak Icih kan sudah pernah kawin…” lanjutnya sambil senyum-senyum.
Dan
di dingklik itu ia duduk sambil cerita sedikit sembarangan, sehingga
sarungnya tersingkap di tengah. Aku menangkap pemandangan itu kelihatan
betisnya, eh.. ini orang mulus juga. Biasanya orang dari desa suka
kurang terawat, aku sekarang jadi melihat secara sadar, wah ini orang
boleh juga.
Aku tidak jelas umurnya berapa, tapi orangnya rapi
dan feminin. Buah dadanya kulihat naik-turun di balik kaos lusuh
pemberian majikannya, barangkali kira-kira separuh Bu Etty dan Tante
Ida deh. Si “Ujang” di balik celanaku terasa mulai bergerak-gerak lagi.
Waktu itu sudah jam 07.00-an rasanya. Selesai makan aku sikat gigi di
kamar mandi dan kudengar Mbak Icih beres-beres dan cuci piring. Keluar
dari situ, kulihat Mbak Icih masih nyuci dan kupandang dari belakang.
Mak… pantatnya molek di balik ketatnya sarungnya itu tampak jelas.
Aku berdiri di sampingnya dan kami saling memandang dan seperti ada
kontak hati saja. Suasananya terasa seperti ada listriknya antara kami,
dan aku ulurkan tanganku meraba pantatnya dan naik ke pinggangnya.
Kupeluk dari belakang dan kumasukkan tanganku ke depan di bawah
kaosnya, terasa BH-nya yang kasar menutup buah dadanya. Aku remas-remas
dari luar BH-nya, dan terasa pantat Mbak Icih mundur merapat ke penisku
bergeser-geser. Kucium kuduknya dan ia menggelinjang.
“Entar dulu Mas To, piringnya pecah entar,” ujarnya perlahan.
“Taruh saja dulu,” jawabku.
Aku
tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku, kedua
puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih
lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah
tegang keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan
tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya
tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku
masuk dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya, tangan kiriku
masih meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong
ke bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun
ke pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan
mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian. Kulihat
lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan
celanaku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak
taruh di atas pinggir bak itu…”
Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah mengacung ke atas.
“Ini
cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas masukin!” Aku hanya
maju-mundur mengarukkan penisku di sekitar pantatnya dan lubang
vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak
Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih
tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir
vaginanya dari depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari
Bu Etty. “Mass… Mass… Ayo dong… masukin…!” keluhnya. Aku tarik
BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku kedua puting
susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan
bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang dengan
keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku
dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal
celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan
telapak tanganku menangkup di atas vaginanya tangan kiriku masih
meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke
bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke
pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan
mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian, kulihat
lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan
celana dalamku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan,
“Mbak taruh di atas pinggir bak itu.” Jadi sekarang vaginanya pas
terbuka di depan penisku yang sudah ngacung ke atas.
“Ini cara
apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas, masukin!” Aku hanya
maju-mundur menggarukkan penisku di sekitar pantatnya dan
nyundul-nyundul lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas
terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku
menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang
memilin-milin bibir vaginanya di depan sambil berusaha mencari klitoris
yang tadi diajari Bu Etty. “Mass… Mass… Ayo dong… masukin…”
Keluhnya mendesah-desah basah suaranya, menambah seru dan panas. Aku
lepas t-shirt-ku dan kaos Mbak Icih, BH hitamnya yang sudah tersingkap
kurengut dan telanjang bulatlah kami.
Aku terus sengaja hanya
menciumi dan menggigiti telinganya, dan tiap kali merinding bulu
tengkuknya, kelihatan pori-pori lengannya meremang dan ia menggelinjang
geli. Penisku tergosok-gosok celah di antara bukit pantatnya tiap ia
menggelinjang. Kupeluk terus dari belakang dan pahanya masih tetap di
atas bak yang sebelah. Penis kugaruk-garukkan ke tepian lubangnya dan
banjir cairan kental dari lubangnya tambah banyak, berkilap-kilap
mengalir di sepanjang paha yang satu. Ia mencoba lagi menggapai penisku
tapi aku mundur dan tetap kupelintir klitorisnya dan kugosok-gosok
lembar dalam bibir vaginanya dengan ujung kuku. Mbak Icih tambah panik
dan keluhannya seperti orang yang sudah mau menangis kepingin sekali.
“Ahhh Mas To, ayo dong masukinnn Masss…. Mbak tidak kuat lagiii…”
kepalanya digoyang-goyangnya ke kanan ke kiri (katanya, orang ekstasi
juga gitu ya).
P.S: Aku memang lagi iseng ingin eksperimen
setelah dicakar, dicekik kepala penisku sama Bu Etty pertama kali, pas
aku mau muncrat itu… memang loh bener lebih enak, gayanya kalau tidak
langsung digebrusin muncrat, dan kalau high dengan narkoba gitu
ya. Amit-amit, aku tidak pernah mencoba sekali juga (habis menurutku
goblok tuh yang main narkoba dan obat batuk hitam, apa urusannya, ya
aku yang ngetik).
“Iya…” Mbak Icih membisikkkanku dekat sekali
telinganya dan mengembus ke lubang, kugigit juga sedikit anak
telinganya. Kumasukkan sedikit dari bawah penisku ke mulut lubang
vaginanya dan kupegang batang panisku dan kuputar-putar di gerbang itu
tanpa aku dorong masuk. Mbak Icih berusaha memasukkan lebih dalam tapi
kutarik kalau dia agak turun. “Masss… jangan disiksa dong… tusukkin
tusukkinn…” jeritnya agak keras. Aku kaget juga, gila ini Mbak.
Nafsunya sudah tidak terkendali lagi. Ya sudah aku masukkan setengah
dan kugoyang pinggulku dan ia juga segera naik-turun. Tangan kiriku
meremas-remas buah dadanya dan sambil memulir-mulir puting susunya yang
sudah keras seperti kerikil. Erangan Mbak Icih menambah erotisnya, dan
busyet… empotan vaginanya bukan main, beda sekali dengan Bu Etty atau
Tante Ida, agak kering tapi tetap enak sekali. Kepala penisku terasa
digenggam beludru dengan mapan sekali. Berkunang-kunang rasanya mataku,
kugigit lagi sedikit pundaknya sambil kuciumi terus kuduknya. Tangan
Mbak Icih menjulur ke belakang dan meremas-remas bukit pantatku,
sementara tanganku satu lagi juga tidak menganggur memoles-moles,
kupetik-petik biji klitorisnya yang tambah nongol keluar. Gila ada
sebesar kacang Garuda yang belum dikupas. Terasa keluar dari lubang
sisi atas vaginanya, keras-keras empuk. Mbak Icih tambah
menggerung-gerung, “Ahhh… ahhh… Mas Masss…” dan tiba-tiba ia
turunkan kakinya dari bak dan menarik pantatku dan masuklah amblas
sedalam-dalamnya penisku. Pantatnya menempel rapat sekali. Terasa
lincir karena keringat kami yang sambil berdiri mengalir. {Bau badan
Mbak Icih itu seperti bunga melati, sama dengan orang Cendana suka
melati dia ini). Bersih, biar dia orang dari kampung tapi sepertinya
mengerti kebersihan badan.
Kupeluk buah dadanya dalam tangkupan
telapak tanganku dan ia membungkuk berpegangan ke bak dan pantatnya,
pinggulnya berputar-putar, rasanya penisku diulek-ulek dan tiap kali ia
berputar tambah cepat dan gelombang-gelombang sinyal kenikmatan mulai
terbentuk seperti tsunami bergelora, “Aahk…” ia menjerit cukup
kencang sampai aku sempat sekilas kaget berpikir, wah kalau kedengaran
tetangga bisa gawat, tapi langsung hilang karena orgasmeku sudah
menjelang. “Plok… plek… plekkk…” bunyi tubuh kami beradu
bercampur keringat dan cairan bau di sekitar situ sudah mesum sekali
bau sex, edan. Meletuplah Mbak Icih dan erangan-erangannya terus
menerus. Tiba-tiba cengkeraman vaginanya begitu kuat sampai aku
menjerit karena agak sakit dan dikendorkannya sedikit. Aku pun tidak
kuat lagi menahan, “Mbak Icihhhh…” kukandaskan dalam-dalam batang
penisku dan zakarku rapat-rapat dengan bibir vaginanya, dan akhrinya
kami saking lemasnya jatuh terduduk di depan bak cuci piring itu.
Terengah-engah dan berpelukan telanjang bulat. Spermaku bertebaran di
lantai dapur. “Mbak Mbak… enak sekaliiii.. Mbak Icih hebat
bangett…” Mukanya agak merengut dan aku sengaja tidak memberi tadi
tubuhnya. “Mas To, aduh saya sudah beneran mau gila tadi rasanya…
untung masih inget kalau tidak saya sudah teriak kencang-kencang,”
katanya sekarang sambil tertawa mengingat keadaan tadi.
“Tapi enak kan ya Mbak, capek tidak Mbak?”
“Nggak Mas To…” sergahnya dengan cepat.
“Sudah, entar tidur di sini saja deh Mbak Icih,” bujukku dengan penuh rencana.
“Entar saya kasih tahu Bu Etty atau Tante Ida kalau mereka pulang, aku bilang takut sendirian di sini.”
“Hi
hi hi, mana mereka percaya Mas To… mereka juga tahu lah……paling
entar Bu Etty bilang biar dia yang temenin… hi hi hi… ” cekikan
Mbak Icih menggodaku.
“Atau Mbak dan Bu Etty yang tidur di sini Mas To…”
Eh ini orang jahil pisan.
“Tapi pasti dikasih deh…” ujarnya lagi.
“Saya mandi dulu ya Mas To. Apa mau sama-sama mandi,” godanya lagi.
“Sudah
deh Mas To, istirahat dulu kan sudah 2 hari ini capek,” lho kok dia
tahu saja ya, padahal kemarin kan dia tidak lihat. Aku belum tahu dan
tidak curiga lebih lanjut sampai beberapa waktu akhirnya aku mengerti,
itu cerita lain lagi yang seru juga.
Aku manggut saja, memang
remuk rasanya badanku terasa juga, dan dengan gontai aku masuk ke kamar
dan aku juga mandi. Penisku kelihatan merah tua sekali kepalanya dan
sekitar kulit di kepala penis kelihatan agak seperti lecet tapi aku
tidak merasa sakit malah “baal”, kebanyakan kali ya. Hmm, kemarin pagi
aku masih perjaka, luar biasa nasibku dalam 2 hari aku main dengan 3
cewek hebat-hebat. Sambil mandi aku melamun kenapa tidak dari dulu ya,
tapi ya sudah memang jalannya gitu barangkali, batinku.
Setelah
mandi aku baring-baring tetap telanjang, tidak ada siap siapa.
Maksudnya menunggu Mbak Icih mandi dan Ibu Etty cs balik, kan aku mesti
menelepon mereka. Eh, baru 3 menit aku ketiduran, bangun-bangun aku
kaget sekali karena sudah tengah malam. Aku bangun dan kulihat Mbak
Icih masih nonton TV, hanya pakai sarung dikembenin t-shirtnya entah
kemana. Bahunya kuning bersih dan pinggang dan pinggulnya seksi sekali
dilihat dari belakang.
“Mbak sudah makan?”
“Sudah Mas To, dan tadi Bu Etty ke sini, saya sudah kasih tahu juga, Mas To takut sendiri.”
“Apa kata Bu Etty?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Ibu ya sudah temenin saja. Dan mereka katanya mau tidur juga capek.”
“Mas To mau makan lagi apa? Mbak gorengin nasi mau, mesti makan telor Mas, buat nambah tenaga,” katanya sambil senyum nakal.
Aku rasanya lesu dan lemas badanku.
“Tidak usah Mbak Icih, aku mau tidur lagi… tapi Mbak Icih tidurnya ditempat saya ya… kan ranjangnya besar sekali.”
“Ah malu Mas To…”
“Duh Mbak, apanya lagi yang malu, kan tidak ada siapa-siapa.”
“Iya deh Mas To, entar Mbak mau nonton dulu ini sinetron ya…”
Sialan sinetron jelek dia mau nonton, mana ada sih sinetron kita yang bagus, bukan sekalian bikin film biru munafik deh.
Besoknya pagi-pagi telepon membangunkan aku, “Kringg…”
“Ya hallo,” sambutku.
“Oh Toto ini Tante Ida, kamu lagi sibuk tidak? Bisa ke rumah Tante sekarang?”
Kontan saja mendengar suaranya si buyung mulai menggeliat. Dasar ngeres dan sudah ngerti.
“Tentu Tante, aku ke sana sekarang ya,” jawabku dengan gembira ria.
Setiba di rumahnya, Tante Ida sudah cantik berpakaian rapi mau pergi. Aku agak kecewa dan ia melihat itu.
“To,
aku perlu pergi ke kantor Oom mau ngambil gaji. Dan sebentar lagi Ibu
Etty pulang arisan dan dia lupa bawa kunci. Mbak Icih lagi nganter
anak-anak ke pesta temen sekolah Ita. Kamu tidak keberatan kan jagain
sebentar, paling seperempat jam lagi pulang kok Bu Etty,” ujarnya
sambil memeluk pundakku.
Susunya nyengsol-nyengsol menyentuh
lenganku. Uhh, sudah ingin remas saja deh, dan si buyung sudah separuh
naik. Sialan hanya mau diminta menunggu rumah, batinku. Tadinya aku
ingin tidur siang. Capai, habis krida hari ini.
Ya deh Tante Ida,
tapi entar aku minta oleh-oleh ya,” kataku sambil meraba pantatnya dan
seketika Tante Ida menggelinjang geli dan ia memeluk erat.
“Iya…” desahnya basah di daun telingaku.
“Aduh gelinyaaa…”
Si
“Ujang” langsung naik. Kumasukkan tanganku dari bawah blusnya dan
kuremas-remas bagian bawah buah dadanya. Biar minta bonus sedikit, dan
penisku kutempelkan di paha atas si tante biar dia tahu aku sudah siap.
Tante Ida melenguh dan, “To, aku mesti pergi, entar telat, kasirnya
tutup nih,” dan ditariknya tanganku lembut dan dengan terengah-engah
ikut nafsu juga. “To, Tante usahakan pulang secepatnya deh, kamu sabar
ya,” lenguhnya berusaha melepaskan remasanku.
Tapi sambil
kepingin diteruskan juga sepertinya. Akhirnya lepas juga sambil
terengah-engah dan parasnya merona merah Tante Ida keluar, jalannya
agak terhuyung-huyung. Aku jamin celana dalamnya sudah basah lembab
tuh. Tinggal aku sendirian. Ya sudah aku ambil majalah lagi dan aku
baring-baring baca di kursi malas di kamar tamu. “Ahhhh…” aku
meronta-ronta dan kok keras amat si buyung dan terasa disedot-sedot
orang. Wah rupanya aku ketiduran dan mimpi, kupikir. Waktu kubuka mata
aku terkejut melihat wajah tak kukenal, dan astaga aku sudah telanjang
bulat. Tanganku terikat ke atas di kursi malas dan penisku sedang
dilumat-lumat. Aku tak tahu siapa satu lagi wanita, aku hanya melihat
kepalanya dan punggungnya telanjang. Kakiku, kakiku, walah terikat juga
ke kiri dan kanan kursi malas. Aku masih setengah mengantuk dan
bingung, sakit kepalaku rasanya terbangun tiba-tiba. Akhirnya aku sadar
betul dan ketika kupalingkan muka ke kanan ada Bu Etty dan dan dia
sudah bulat-bulat juga telanjang. “Bu.. saya diapakan ini,” kataku
sambil nyengir keenakan. “Diam saja dah kamu,” kata Bu Etty tersenyum
Ia bertolak pinggang dan duh buah dadanya menantang betul. Tapi
tanganku tidak bisa mencapainya. Ini siapa Bu semuanya, saya mau
diapakan sih?” Buah zakarku terasa geli sekali digaruk-garuk kuku
wanita yang menyedoti penisku.
Aku menggelinjang geli, dan Bu
Etty meraba puting susuku. “Ahhh.. enakkk…” dan tersiksa betul
rasanya tanganku tidak bisa aktif, sudah ingin betul meremas susu Bu
Etty yang gundal gandul di dekat bahuku. “Ini temen-temen Ibu, To. Bu
Endah dan Bu Inggit. Kita tadi ngeliat kamu ketiduran dan ya seperti
Ibu bilang ini temen-temen ibu itu lho,” katanya sambil menggeserkan
buah dadanya di dadaku. Putingnya ditekannya ke putingku. Enak, empuk,
hangat, dan seketika aku tambah bingung, lha tapi kenapa saya diikat.
“Ya, kata Bu Etty kan kemarin itu kamu ngikat Mbak Icih. Ha ha.. ha…
nah kami tadi iseng pengen ngerjain kamu nih To.”
Hisapan Bu
Endah terasa tambah menghebat, lidahnya berputar-putar di sekitar
kepala penisku dan aku sudah tidak kuat lagi mau meledak. Dan kuangkat
pantatku agar masuk lebih dalam. “Ehhh…” Bu Endah malah berdiri dan
melepaskan mulutnya. Wah tergantung aku. Dengan terengah-engah aku
bilang, “Bu tolong dong Bu sedot lagiii… sudah mau muncrat nihhh…
Buuuu…” Bu Endah, Bu Etty dan Bu Ingit tertawa ramai-ramai, dan aku
belum sempat memperhatikan seksama buah dada mereka kontal kantil
terguncang-guncang karena mereka tertawa melihat aku yang seperti
cacing kepanasan. Mataku masih sepet dan berkunang-kunang dari
ketiduran tadi. Bu Ingit kemudian mendekat dan mengangkang. Pantatnya
mengarah ke mukaku dan ia mulai turun sambil memegang batang penisku,
digosok-gosoknya ke mulut liang vaginanya dan aku mendesah lagi, karena
enak sekali dan aku sudah siap meledakkan orgasmeku. Bu Endah
menggosokkan buah dadanya ke mulutku yang langsung kontan saja aku
sergap, dan putingnya kuhisap dan lidahku berputar-putar di kacang
keras itu.
Bu Endah merem melek dan kulit buah dadanya yang
bening kelihatan garis-garis hijau biru halus dan meremang
pori-porinya. Bu Ingit masih hanya memasukkan separuh kepala penisku
dan senut-senut kempotan bibir mulut vaginanya hangat dan enak sekali.
Aku rasanya mau gila karena kenapa dia tidak memasukkan semuanya, aku
berusaha menaikkan pantatku tapi Bu Ingit selalu menjaga jaraknya.
Kurang ajar, dalam hatiku dan aku rasanya mau menjerit tapi mulutku
disumpal buah dada kenyal. Kuku tajam jari Bu Etty terasa mulai
menggaruk di sekitar duburku dan buah zakarku, menambah kebinalan di
dalam otakku yang sudah tak bisa berpikir lagi. Aku hanya
terengah-engah dalam siksaan ketiga ibu-ibu sexy sintal ini. Bisa
dibayangkan, tidak semua mereka telanjang bulat (aku juga) dan aku
tidak bisa semauku. Keningku terlihat kencang mengejang dan urat-urat
dahiku keluar semua. Aku menggeram, “Ahhh… Ayo Buuu… aku pengen,
tolong dong… masukkin Bu…” Bu Endah menarik buah dadanya dan ia
berlutut dan diturunkannya vaginanya ke mulutku, aku tak berdaya dan
bau harum aku rasakan keluar dan hawa panas hangat dari vaginanya yang
lembab.
Aku ulurkan keluar lidahku dan kujilat-jilat, Bu Endah
melenguh, “Uuhhhh sedapnya,” dan pantatnya maju-mundur menggeruskan
vaginanya di atas mulutku. Terus di gerus-geruskan bibir vaginanya ke
mulutku dan terasa cairan-cairan dari dalam vaginanya meleleh masukk.
Lidahku aktif menjilati lubangnya dan klitorisnya yang sebesar kacang
ijo. Bu Etty sih sebesar kacang merah nongol. Bu Ingit sementara hanya
berputar di atas kepala penisku. Telapak tangannya bertopang di atas
pahaku dan sambil meraba-raba dengan halus. Gilaaa… pahaku digarisnya
dengan kukunya yang panjang, “Alamakkk.. gelii Bu…”
Bu Etty
menungging dan merangkak ke dekat pantatku dan mulutnya mulai
menjilat-jilat daerah yang digaruk-garuknya tadi, sekarang dijilatnya
dengan lidahnya yang hangat, dan buah zakarku dikulum-kulum seperti
lagi makan cupacup dan dijilatnya pelan-pelan seperti orang
makan biji salak. Akhirnya aku tidak kuat lagi dan pantatku kunaikkan,
kakiku mengejang. Bu Inggit terkejut dan cepat ia membenamkan penisku
dalam-dalam dan diputir-putirnya pantatnya sampai kandas dan seketika
letupan orgasmeku membanjir deras di dalam vagina Bu Inggit dan Bu
Inggit sendiri menggarukkan klitorisnya di batangku dengan cepat dan
pantatnya yang sintal berputar-putar, sebentar kemudian ia pun menahan
jeritannya, “Ahhh…” kemudian diangkatnya naik-turun, aku melihat
bibir vaginanya keluar-masuk merekah belah oleh batang penisku yang
basah mengkilap. Bulu kemaluannya basah kuyup dan bersatu. “Uukhh…
Ahhh…”
Bu Inggit kemudian bangkit dan “Plop,” bunyi waktu
penisku masih setengah tegang lepas dari genggaman erat vaginanya.
Spermaku meleleh sepanjang pahanya yang putih. Bu Etty masih di bawah
situ mengecup buah zakarku dan tertetes-tetes di pipinya beberapa
gumpalan spermaku. Kami terengah-engah semua dan aku merasa nikmat yang
luar biassa. Sepanjang beberapa jam itu aku gantian ditunggangi oleh Bu
Endah kemudian terakhir Bu Etty, karena dia nyonya rumah jadi terakhir.
Aku sendiri di servis demikian merasa sesuatu pengalaman yang lain dari
yang lain. Belum pernah aku dimanjakan oleh 3 wanita sekaligus begitu.
Malam itu aku ketiduran di antara ketiganya dalam keadaan telanjang
bulat.,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
TAMAT